Ini adalah kesan pertama saya setelah menonton film “In This Corner of the World” (この世界の片隅に, Kono Sekai no Katasumi ni).
"Kamu PKI, yah?!" >:( |
Biasanya saya bakalan menulis review tentang film menarik dan berkesan yang saya tonton namun kali ini saya cukup menuliskan kesan saja karena saya gak terlalu kuat buat mengulas film yang deep emotion semacam ini.
Pada awalnya saya bermaksud menonton film ini tanpa membawa ekspektasi apapun. Saya kira film ini akan mengandung ‘slice of life’ semacam ‘My Neighbour Totoro’. Berbekal jadwal tayang perdana yang ditayangkan jam 20.00 (pada jadwal puasa), saya menonton film ini dengan harapan bisa tidur nyenyak... yah, kalian ngerti kan maksudku? Saya benar-benar butuh waktu istirahat yang nyenyak.
Berbekal pemikiran diatas, maka saya menikmati adegan awal film ini dengan sukses. Diiringi lagu ‘Hai Mari, Berhimpun (O Come All Ye Faithful)’ [oke, absurd kan? Kenapa ada lagu natal di awal film?] dan warna animasi semacam kartun Snoopy, aku kira film ini sejenis film Ghibli, yah aku salah.
Film ini dimulai dengan adegan masa kecil heroine kita yang bernama Suzu, seorang gadis polos yang suka melamun dan jago menggambar. Di adegan selanjutnya kita akan mengetahui bahwa dia memiliki seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan. Pada bagian awal film ini kita akan diajak terjun dalam imajinasi sang MC, bahkan kita akan kesulitan membedakan mana bagian yang fakta dan ilusi karena hobi Suzu yang tukang menghayal.
Melompat dari adegan awal dan kita mengetahui bahwa Suzu sekarang sudah dewasa (18-19 tahun) atau lebih tepatnya sudah cocok untuk usia menikah bagi orang jepang di masa itu. Singkatnya, dia di lamar oleh seorang lelaki ‘asing’ yang tidak dia kenal. Payahnya, sebenarnya dia memiliki seseorang yang dia sukai namun takdir berkata lain dan cinta bertepuk sebelah tangan, seharusnya.
Pertunangan dilanjutkan dan tiba-tiba kita mengetahui bahwa mereka telah menikah dan Suzu hidup bersama dengan keluarga suami yang sekarang, Shusaku. Suzu sang penghayal, menikah di masa muda dan tidak dapat hidup mandiri seperti yang diharapkan. Segala sesuatunya berjalan dengan lambat di dalam pekerjaan tangannya.
Pertunangan dilanjutkan dan tiba-tiba kita mengetahui bahwa mereka telah menikah dan Suzu hidup bersama dengan keluarga suami yang sekarang, Shusaku. Suzu sang penghayal, menikah di masa muda dan tidak dapat hidup mandiri seperti yang diharapkan. Segala sesuatunya berjalan dengan lambat di dalam pekerjaan tangannya.
Sekilas cerita ini benar-benar ‘Slice of Life’ kan? Sebelum saya menambahkan fakta bahwa cerita ini terjadi pada masa Perang Dunia ke 2, dimana Jepang diinvasi Amerika Serikat. Plot cerita sebenarnya dari film ini terjadi sekitar tahun 1943(?)-1945. Di film ini kita diajak untuk memahami pemikiran orang jepang ketika perang dunia berlangsung. Bagaimana sikap patriotisme mereka yang patuh dan rela berkorban terhadap negara. Mungkin tidak seperti di Indonesia dan negara jajahan Jepang lainnya yang mengalami Kerja Rodi, namun di jepang sendiri terjadi penjatahan ransum makan untuk setiap penduduknya.
Bagian kedua yang ditunjukkan dari film ini adalah tentang konsep pernikahan dan keluarga. Sesungguhnya sulit untuk menonton ini karena film ini benar-benar menonjokku tepat di problem utamanya. Seperti idiom yang mengatakan “Sudah sejak dulu wanita dijajah pria”, di jepang juga berlaku hal yang sama dimana mempelai wanita dilamar oleh keluarga laki-laki dan biasanya dia tidak dapat menolaknya. Sebenarnya cerita ini kalo dipikirkan lagi sungguh romantis meski sedikit tragis.
Contohnya, ketika Suzu yang telah menikah bertemu dengan Tetsu, teman masa kecilnya, seorang petugas kapal yang baru saja berlabuh di daerahnya dan mengajaknya di rumah mereka. Disana Tetsu terus menggoda Suzu sehingga membuat suaminya cemburu (i’m laughing for his reason). Setelah itu, Tetsu dilarang tinggal menginap dirumahnya melainkan tidur di bagian belakang rumah.
Shusaku lalu menyuruh Suzu mengantarkan pemanas kepada Tetsu di ruangannya, yah kalian ngerti lah mau dibawa kemana ini sebenarnya. Bahkan sang suami tega mengunci pintu dari dalam supaya sang Istrinya bisa bercengkerama dengan ‘teman’ lamanya di ruangan sebelah, dengan maksud mungkin ini adalah pertemuan terakhir mereka, jaga-jaga kalau dia mati. IYKWIM!!!!!!!!!!
Cukup memuaskan sampai titik ini, hingga saya menyadari bahwa cerita ini gak mungkin semulus ini. btw, film ini selalu mengajakmu untuk tersenyum (karena tingkah Suzu yang Oon, karena plot, karena suasana filmnya yang begitu). Catatan tanggal yang mengisahkan cerita ini menyadarkanku bahwa alur selanjutnya akan semakin buruk. Maksudku, Hiroshima, 1945, dan cerita berlanjut ke bulan Juli dst.... artinya: “......bila bom nuklir diledakkan maka musnahlah kehidupan umat manusia”.
Bagian ketiga, ***. Pada titik ini Suzu sudah semakin dewasa, meski masih Oon, diminta untuk membeli gula akibat kecerobohannya sendiri di pasar gelap dan tersesat. Disini dia bertemu dengan Rin / Lin(?) yang menunjukkan jalan menuju tempat tinggalnya. What a plot in here? Ternyata dia adalah teman(?) lamanya di kota asalnya dan saat ini dia bekerja sebagai seorang geisha (aku kira lebih cocok untuk menjelaskannya semacam itu). Perjumpaan yang secara kebetulan di awal dan akhir. Cerita klise ini juga ditampilkan di bagian post-kredit film. (someone plz explained to me!!)
Bagian empat, perang dan kerugian. Gak ada yang indah di dalam perang!! Gak ada yang indah di dalam ledakan!! Saya akan simpan penjelasan ini supaya kalian nonton sendiri. Saya hanya bisa bilang bahwa menonton di bioskop adalah pilihan yang tepat karena kamu bisa dimanjakan dengan Sound Effect yang menggelegar.
Tambahan, singkat cerita kita tahu bahwa Jepang pada akhirnya kalah dan menyerah total sembilan hari setelahnya. Pada bagian ini kita bisa merasakan perasaan penduduk orang jepang setelah mendengarkan dengan khidmat pidato kenegaraan via radio yang singkatnya dijelaskan bahwa mereka telah kalah dan pada titik ini Suzu, penduduk jepang menangis keras-keras karena tidak menerima kekalahan ini. Bagi dia, yang mewakili pemikiran penduduk jepang pada saat itu. Kekalahan ini sungguh sia-sia setelah kerugian dan kehilangan yang sudah mereka alami selama ini.
Melalui film ini kita juga bisa mendapat gambaran pada waktu itu bahwa sebenarnya Hiroshima merupakan kota yang jauh dari zona pertempuran dan cukup aman untuk ditempati sebelum bom baru yang diciptakan Einstein itu mendarat di kota itu. Pertama, tidak ada peringatan, hanya terang flash dalam sekejab mata. Kedua, suara menggelegar beberapa saat. Ketiga, asap membumbung tinggi yang membentuk cendana dan mengakibatkan bahaya radiasi parah bagi para survival setelah itu.
Selain itu, pemboman di jepang itu berlangsung pada bulan Agustus, dimana Natsu Matsuri (Perayaan Musim Panas) sedang berlangsung. Jadi bisa dibayangkan betapa kacaunya keadaan saat itu yang disongsong dengan gembira oleh para pemuda Rengasdenglok di Indonesia pada saat itu.
Kesimpulan, cerita ini trap banget! Sepanjang film ini hanya terlihat senyuman bagi para pemerannya. Ini situasi perang dan mereka masih bisa tersenyum. Sesuatu yang luar biasa bagi film pemenang ‘Peace Film Award - Hiroshima International Film Festival’.
Saya membayangkan mungkin karena cerita ini didasarkan pada ajaran Shinto dimana segala sesuatu di dunia itu mengandung kebaikan. Saya gak yakin bisa terlalu menjelaskan ini namun intinya menurut mereka segala hal yang terjadi di dunia ini terdapat keseimbangan.
Seperti halnya Perang dan Kehancuran, bagi orang ‘beragama’ akan sangat mudah untuk menyalahkan Tuhan akan perkara ini. Mengapa ini terjadi? Apa salah kami? Apa dosa kami? namun itu bagi orang Jepang bukan seperti itu mereka memandangnya. Mereka akan mensyukuri segala hal yang terjadi ini sebagai kesempatan baru dari ‘Kami-sama’ untuk menata ulang dan berusaha lebih baik untuk membangun tata hidup yang baru. Karena itulah, mungkin, sehingga agama Buddha lebih mudah diserap dalam ajaran Shinto di Jepang.
Akhir kata, kamu harus nonton film ini selama masih hidup meski cuma sekali..... dimana saja, selama masih di sudut dunia ini!
Film ini telah ditonton 1 kali pada 14 Juni 2017
Komentar