Review Film: A Silent Voice (Koe no Katachi - 聲の形)

A Silent Voice (Koe no Katachi - A Shape of Voice)




Sudah lama saya tidak menuliskan ulasan tentang film di blog. Sebenarnya bukan karena malas namun terkadang ada beberapa film yang cukup untuk ditonton saja dan tidak perlu di ulas. Well, lagipula dari awal saya juga bukan seorang blogger movie.

Tapi, mungkin dalam beberapa waktu mendatang saya akan membahas beberapa film yang cukup layak untuk diambil hikmahnya.

Suara Hening, Terjemahan secara harfiah dalam bahasa indonesia dari judul bahasa inggris yang akan saya bahas kali ini. Di dalam postingan ini saya tidak berniat menceritakan spoiler atau isi filmnya secara detail - meskipun ada beberapa potongan scene yang saya ceritakan disini – oleh karena itu silahkan menonton film ini sendiri.


APPEAL!

Saya yakin film ini telah meninggalkan banyak kesan yang membekas bagi orang-orang yang telah menontonnya. Anyway, Sebelum menonton film ini saya terlebih dahulu sudah membaca manga (komik jepang) – film ini merupakan adaptasi dari manga)

Ada beberapa faktor mengapa saya menonton film ini:
1.    Kyoto Animation. Studio animasi yang terkenal dengan kualitas animenya dan kenyamanan kerja bagi para animatornya. 
2.    Penulisan serial ini sudah mendapatkan persetujuan dari Federasi Tuna Rungu di Jepang.
3.    Film animasi ini berhasil merajai chart box office film jepang di posisi 2 di bawah “Your Name - Kimi no na Wa” (akan dibahas di lain waktu)
4.    Baru-baru ini film ini memenangkan Best Animation of the Year oleh 26th Japan Movie Critic Awards.

Koe no Katachi, film ini mengangkat topik cerita yang tidak ringan untuk dijadikan tontonan anak-anak (semua umur). Faktor utama yang ditonjolkan dalam cerita ini adalah tentang Bullying (pada subteks film ini diterjemahkan menjadi penindasan) dan Disability (cacat fisik, dalam hal ini tuna rungu) dan berujung kepada Suiciede (bunuh diri).

Anyway, Sebelum menonton film ini juga saya sudah merampungkan baca manganya (sekitar 3 hari) dan ada hal menarik yang bisa dibahas baik oleh manga ataupun filmnya.


RINGKASAN CERITA

Cerita ini mengenai Shoko Nishimiya, seorang gadis SD yang baru saja ditransfer ke sebuah sekolah yang baru. Disini terungkap bahwa gadis ini ternyata seorang tuna rungu dan sekolah itu merupakan sekolah normal, dimana pada waktu pertama kali dia memperkenalkan diri maka dia harus mengeluakan buku catatan untuk bisa berkomunikasi dengan teman-temannya.  Pada awalnya gadis ini diterima oleh teman-temannya namun seiring berjalannya waktu teman-temannya menjadi bosan dengan tingkah lakunya dan menjadi kesal lalu pecahlah konflik utama dari cerita ini, bullying

Ishida Shoya, salah seorang pelaku utama tindakkan bully kepada Nishimiya pada awalnya menganggap tindakkannya itu hanyalah tindakan lucu-lucuan oleh karena teman-teman kelasnya juga turut tertawa dan senang oleh kelakuan nakal itu hingga tanpa sadar dia ‘mempermainkan’ gadis ini tanpa rasa kasihan, mulai dari membentak telinganya yang tuli (meski tidak sepenuhnya karena memakai alat bantu dengar). 

Singkat cerita, gadis cacat ini mendapatkan perhatian khusus dari pihak sekolah yang mengajak murid-murid lainnya untuk belajar bahasa isyarat dan sejak saat itu tindakan bullying menjadi semakin kasar kepadanya. Isihida yang merasa perlakukan bully-nya mendapatkan amin dari teman-temannya bertindak semakin keterlaluan hingga suatu keadaan tertentu dan pada akhirnya keluarga gadis ini secara resmi melaporkan tindakannya kepada guru dan terungkap bahwa sejumlah alat bantu pendengarannya telah rusak.

Pihak sekolah terpaksa diminta bertanggung jawab atas insiden ini oleh orang tua murid dan kemudian berujung kepada investigasi terhadap para muridnya di dalam kelas itu atau kasus ini akan dilaporkan ke pihak polisi dan disinilah pelaku utama bully kita, Ishida Shoya dituntut untuk bertanggung jawab oleh wali kelasnya tapi kemudian  dia menyangkal dan mengelak tuntutan itu melainkan juga menyalahkan teman sekelas yang lain namun teman-temannya memberontak dan membuat dia menjadi tertuduh dan tersangka tunggal.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Ya, perlakuan bullying menjadi semakin menjadi-jadi namun bukan untuk Nishimiya melainkan ditujukan kepada Ishida. Dia mendapatkan perlakuan Bully namun status ‘pembully’ tidak pernah lepas dari identitasnya hingga SMA.

Lalu, sebuah keputusan akhir telah diambil. Dia memutuskan untuk bertemu dan meminta maaf kepada Nishimiya.

Nah....

Sekilas terdengar klise, yah? Well, seandainya ini film indonesia kemungkinan plot ini akan mengarah kepada cerita roman picisan. Ah, pasti ujung-ujungnya pemain utamanya jatuh cinta sama gadis tuli ini, kan? Lalu mereka menikah, punya anak dan hidup bahagia selamanya... selamanya... selamanya.

Tapi...

Ternyata bukan itu yang terjadi... Karena itulah sebaiknya kamu menyaksikannya sendiri.


Berikut adalah hal yang bisa dipelajari dari film ini:


1.    Apa itu Normal?

Inilah hal pertama yang aku pikirkan setelah selesai menonton ini. sejujurnya, plot dan tema cerita di seri (film+manga) ini sangat tidak normal. Sang Heroine, Nishimiya yang merupakan orang cacat dipaksa untuk hidup normal dengan orang-orang normal lainnya. Nishimiya sengaja dimasukkan ke SD yang normal oleh mamanya (karena alasan tertentu) dan berujung kepada menerima perlakuan yang sama, bullying sehingga membuatnya selalu berpindah-pindah sekolah. Berada di SD yang para muridnya adalah orang normal maka gurunya juga memperlakukan dia layaknya orang normal, yah duduk kursi tengah sehingga membuatnya tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik meski mungkin juga tidak ada gunanya sih.

Di dunia nyata, Tentu saja ada suatu ‘gap’ yang memisahkan antara kehidupan orang normal dan orang berkebutuhan khusus seperti ini. Ada Sekolah Luar Biasa (SLB) yang didirikan untuk memfasilitasi anak-anak semacam ini untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Pada fasilitas umum terdapat kursi khusus yang dibangun untuk melayani kaum mereka.

Namun sebenarnya poin utamanya bukanlah tentang memfasilitasi kebutuhan mereka. Film ini mengajarkan kita untuk mengubah cara pandang kita terhadap para kaum disability, apakah definisi normal tidak berlaku bagi orang cacat? Karena hal utama yang mereka inginkan sebenarnya bukanlah tentang status normal itu sendiri namun kepedulian kita untuk mau berteman/menerima mereka untuk berada di dalam bagian bermasyarakat.

Ini bukanlah tentang normal atau tidak namun sebuah wawasan yang mempertanyakan “apakah kita sudah bisa memperlakukan mereka setara dengan orang normal lainnya atau dalam kata lain, sudahkah kita memanusiakan mereka?”

Memanusiakan itu juga bukan tentang memperlakukan mereka dengan perhatian khusus secara berlebihan, sih. Saya belajar terkadang orang-orang semacam ini malah belajar untuk lebih mandiri dengan cara mereka sendiri bukannya bergantung dengan orang lain, seseorang yang cacat fisik kaki bahkan akan memilih menggerakkan tubuh dengan usaha mereka sendiri ketimbang dituntun atau digendong orang. Jadi, terkadang definisi normal itu berarti memberikan mereka kebebasan untuk melakukan hal yang mereka bisa.


2.    Care for Nothing.


Homo Homini Socio, sebuah ungkapan bahasa latin yang berarti manusia adalah teman bagi manusia lainnya. Ketika Nishimiya datang pertama kali ke sekolah SD itu banyak murid yang menerimanya sebagai teman karena menganggap dia sebagai seseorang yang ‘unik’. Saya tidak bisa terlalu banyak menjelaskan tentang arti kalimat ini namun ada intinya manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu memiliki cara untuk bisa berinteraksi. Dalam kasus ini, Nishimiya dengan notes ajaibnya (serius, tuh notes udah kerendem air seharian tulisannya gak ikut luntur). 

Namun...

Kepedulian yang dimulai dari rasa simpatik yang berkelanjutan secara terus menerus kepada seseorang bukannya menghasilkan perasaan kasih melainkan perasaan kasihan yang berujung kepada hal yang negatif. Inilah kasus yang ingin dibawakan dalam cerita ini, Nishimiya yang ingin berusaha hidup ‘normal’ beranggapan bahwa dia harus selalu berada di dekat teman-temannya namun dia sendiri tidak sadar (dalam hal ini hanya kepada Ueno saja) bahwa keberadaannya menjadi beban bagi mereka. Puncaknya pada waktu acara paduan suara dimana si tuli ini memaksakan diri untuk ikut dan pada akhirnya berujung kepada kekalahan grup kelasnya. (adegan ini tidak terlalu jelas di film namun secara gamblang diceritakan di manga)

Dan karena itulah kita mengenal istilah.

Homo Homini Lupus, sebuah ungkapan bahasa latin yang berarti manusia bisa menjadi serigala bagi manusia lainnya. Ada banyak kasus tentang istilah ini di dalam film ini sendiri.
 
Ketika Sahara Miyoko, mengajukan diri untuk belajar bahasa isyarat bersama Nishimiya yang digagas gurunya, Dia diejek dan ditindas oleh teman-teman sekelas lainnya yang menolak pelajaran tambahan itu karena terlalu menyusahkan dan membuang waktu. Pada akhirnya Sahara tidak masuk sekolah lagi sejak saat itu.

Ketika Ishida Shoya, si pelaku utama bullying ini menjadi tertuduh oleh gurunya tidak ada satupun sahabatnya yang mendukung / membelanya bahkan setelah kejadian itu mereka berbalik untuk memusuhinya.

Sesuai istilah ini, terkadang manusia bisa menjadi makhluk egois demi kepentingannya sendiri. Bahkan secara keseluruhan, kita bisa merangkum bahwa inti plot cerita ini mengenai kepedulian sang MC terhadap Heroine hanya untuk kepuasan dirinya sendiri. Sebuah tindakan ‘penebusan’ dengan segala cara yang dia bisa oleh karena ‘kesempatan kedua’ yang diberikan oleh Heroine tersebut kepadanya.


3.    Kesetaraan Gender


Sebelumnya, seperti pemaparan diatas bahwa cerita ini mengenai seorang yang berkebutuhan khusus di dalam kehidupan normal. Untuk sekolah normal bisa menerima Nishimiya, si tuli seperti halnya anak normal lainnya mungkin itu adalah kerinduan bagi Federasi Tuna Rungu di Jepang kepada anak-anak yang serupa dengannya di dunia nyata sehingga mereka kemudian turut mendukung seri ini. Tapi saya lebih fokus kepada adegan ketika Ishida yang terbully malah memilih berantem dengan Nishimiya yang merupakan seorang wanita pada saat SD.

Mungkin itu adalah momen yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kesetaraan gender benar-benar diberlakukan dengan benar karena pada saat ini kamu tidak perlu memikirkan tentang “anu” sebelum akil balik dan anak seusia itu bisa “bercengkerama” (diambil dari subteks film indonesia) dengan leluasa.

Hal lainnya, mungkin sedikit ditampilkan di adegan awal film namun tanpa penjelasan selain di manga ketika Nishimiya dipaksa oleh mamanya untuk memotong rambutnya. Pada awalnya, mamanya menyuruh sang pangkas rambut (yang kemudian diketahui sebagai ibu Ishida) untuk memotong rambut anaknya sependek mungkin agar mirip seperti anak laki-laki supaya dia tidak lagi di bully di sekolah barunya (yang kemudian diketahui di SD yang sama dengan ishida) bagaimanapun juga Miyako, ibu Ishida menolak melakukan itu dan memberikan potongan rambut bang hair kepada Nishimiya.


4.    Harga yang Dibayar


Pada akhirnya setelah Miyako Ishida mengetahui tindakannya mengenai perbuatan nakal anaknya yang sudah merusakkan 8 alat bantu pendengaran yang senilai 1,7 juta yen (sekitar 340 juta rupiah) maka sang ibu kemudian menebus uang itu dengan uang simpanan dari bank kepada Yaeko Nishimiya, ibu Nishimiya.

Berkaitan dengan tindakan itu, pada adegan awal diperlihatkan dimana sang MC, Ishida mengumpulkan seluruh uang yang telah dia peroleh selama bekerja paruh waktu dan menjual seluruh barang yang ada didalam kamarnya untuk mengumpulkan uang 1,7 juta yen dan kemudian diberikan kepada ibunya sebelum dia memutuskan untuk bunuh diri.

Pada akhirnya, sang MC membatalkan niatnya untuk bunuh diri dan kembali ke kehidupan normalnya yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Cerita kehidupan berlanjut dengan sang Ibu yang secara terus terang mempertanyakan tentang asal uang itu dan menantangnya untuk tidak melakukannya lagi atau dia akan membakar uang itu. 

Disini kita bisa belajar tentang kasih orang tua yang tiada batas. Sebesar apapun pengorbanan yang diperlukan untuk sang anak, beliau tetap akan mengusahakan dan selalu yang menjadi yang terdepan untuk membelamu. When you talk about Love, it never about Money. Well, pada akhirnya tetap hangus, sih.


5.    X-Sign


Dikatakan bahwa “Hati yang gembira adalah obat namun semangat yang patah mengeringkan tulang.” Amsal ini membicarakan kebenaran bahwa kekuatan seseorang untuk bersikap positif/negatif dipengaruhi oleh sikap hati dalam menghadapi sebuah keadaan. Ishida merupakan gambaran dari sosok manusia yang selalu dipandang sebelah mata oleh karena tindakan “bully” di masa lalu. 

Cap itu menempel dan tersegel kepada dirinya sehingga dia merasa bahwa kehidupannya sudah tidak artinya lagi. Oleh karena Ishida merasa dunia sudah membuang muka pada dia maka dia juga memalingkan muka dari dunia dan memilih untuk menutup telinga serta memberikan simbol tanda X sebagai ungkapan bahwa dia juga tidak berminat untuk melihat atau memperhatikan mereka lagi.

But, i can say that it was true. Ketika kamu memutuskan untuk melakukan itu maka wajah lawan bicaramu akan terlihat samar-samar.


6.    Bullying = People Power.

 
Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan bullying atau penindasan tidak serta merta terjadi karena peran dari 1-2 orang saja melainkan ini terbentuk karena sistem yang terbiasakan dan menganggap bahwa itu adalah tindakan wajar.

Aksi ini juga tidak serta merta terjadi tanpa perlawanan namun itu juga terjadi karena mereka tidak bermaksud melawan. Hari ini kita mendengar bahwa tindakan ini dinamakan sebagai Silent Majority. Saya tidak berusaha menyimpang dari konteks ini namun saya ingin mengatakan bahwa Perbuatan Diam itu ternyata memiliki kuasa. Kuasa untuk melegimitasi perbuatan orang-orang yang bertindak salah. However, just silent without action is never make a move.

Bagaimana Bullying terjadi?

Di dalam film ini ada 3 aktor utama yang menyebabkan tindakan bullying terjadi.

1.    Ishida Shoya.
Tokoh utama yang bertanggung jawab atas bullying terhadap Nishimiya. Secara keseluruhan memang dialah orang yang menjadi eksekutor utama untuk menjahili Nishimiya namun perlu diperhatikan bahwa tindakan ini terjadi bukannya tanpa alasan.

Di manga dijelaskan bahwa Ishida menganggap Nishimiya, murid baru itu sebagai seorang alien di dalam dunianya. Seketika itu juga kehidupan normalnya tiba-tiba menjadi berantakan karena kehadiran makhluk aneh ini di dalam kelasnya hingga pada suatu titik dia mendapatkan cara yang dapat membuat perhatian teman sekelasnya kembali kepadanya. Sebuah senyuman oleh karena suatu perbuatan iseng yang membuka pintu yang menuntunnya kepada masa depan yang selanjutnya.

2.    Naoko Ueno.
Tokoh sampingan ini tidak terlalu menonjol hingga pertengahan film namun tetap berperan aktif sejak awal cerita. Dia adalah ‘partner in crime’ Ishida yang selalu berusaha klop dengan kelakuan maniaknya – bisa dikatakan Ishida adalah cinta pertamanya sejak SD. Karena itu tidak terlalu mengherankan bahwa dia kemudian turut menjahili Nishimiya dengan merebut alat bantu pendengarannya – meskipun bisa dipandang bahwa dia juga turut cemburu kepadanya.

Hal yang cukup mengejutkan bahwa pada awalnya dia adalah orang yang dekat dengan Nishimiya pada awalnya hingga dia menjadi bosan. Dia juga turut bertanggung jawab untuk ‘mengorbankan’ Ishida sebagai tumbal kelas untuk perlakuan bully terhadap Nishimiya.

Dalam berbagai kasus dia bisa dipandang salah karena tindakannya yang tidak pikir panjang dan seenaknya sendiri. Tapi dalam sudut pandang lain dia adalah orang yang paling jujur dan terus terang di dalam film ini.

3.    Miki Kawai.
IMO, Karakter ini secara keseluruhan tidak memiliki peran berarti di dalam film ini. Dia digambarkan sebagai seorang ketua kelas saat SD dan merupakan ‘anak gadis baik-baik’ yang selalu menjaga citra dirinya dengan baik hingga di bangku SMA. Dia juga pernah dekat dan turut membantu Nishimiya ketika SD. Dengan kelakuan baik itu dia berhasil membangun relasi dengan banyak teman. Dan untuk melakukan itu dia tidak boleh merusak image ‘gadis baik-baik’ itu. Termasuk mengamini tindakan bullying yang ‘disukai’ oleh teman sekelasnya.

Apa yang menghubungkan ketiga karakter ini?

Mereka sama-sama memiliki andil terhadap kasus Bullying ini. Ishida mungkin adalah pencetusnya, dia adalah Direct Bullied. Namun tindakan ini ternyata di dukung oleh Indirect Bullied yang tanpa sadar dilakukan oleh Kawai dengan senyuman tanpa rasa salah dan di dukung oleh Ueno yang secara tidak langsung menganggu orang-orang yang ingin dekat dengan Nishimiya dan itulah yang membuat Ishida semakin bersemangat untuk melakukan tindakan bullying ini. Bahkan, kemudian setelah Ishida menjadi korban Bullying dia tetap berperan sebagai Indirect Bullied karena terus membiarkan perbuatan bullying terjadi dan hanya bisa melihatnya.


7.    Bunuh Diri, Asa yang Terputus.


Ada 2 adegan bunuh diri yang terdapat di film ini, masing-masing terjadi di awal dan akhir film. 

Pertama adalah keputusan Ishida untuk mengakhiri segalanya setelah “menebus harga” yang harus dia bayarkan. Pertama adalah uang kepada ibunya, kemudian permintaan maaf kepada Nishimiya, yang sudah mengubah seluruh cara pandang kehidupannya. Tidak peduli apakah dia menerima atau tidak, Ishida sudah memutuskan untuk berniat bunuh diri.

Kedua, Nishimiya pada akhirnya mengalami gejolak batin yang membuat dirinya frustasi (secara diam-diam) yaitu dia menganggap dirinya sebagai beban bagi orang lain, terutama untuk Ishida dan berpikir bahwa dirinya itu tidak berguna sehingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di dunia.


Bagi penonton film ini mungkin akan dengan mudah mengatakan bahwa keputusan Nishimiya untuk bunuh diri adalah kesalahan Ueno yang sudah berterus terang secara kasar di atas wahana Bianglala di taman bermain. Namun sebenarnya, tindakan Nishimiya ini adalah kumpulan perasaan bersalah yang dia pendam di dalam hatinya semenjak SD. Keterbatasannya yang selalu merepotkan orang lain dan bahkan membuat adik perempuannya ikut terbully membuatnya turut menyesal. 

Selanjutnya adalah pada saat kematian neneknya, orang yang paling berjasa di dalam keluarga ini untuk membesarkan Nishimiya, gadis tuli yang dicampakkan oleh ayahnya (tidak dijelaskan di film). Puncaknya adalah pada saat ‘reuni’ bersama para tokoh film ini di atas jembatan. Disinilah konflik utama terjadi ketika Ishida sebagai MC menyangkal sosok mereka sebagai protagonis dan turut menyalahkan dirinya sendiri. semenjak saat itu Nishimiya merasa bahwa kehadirannya bukannya tidak ada apa-apanya malahan merusak ikatan baik yang sudah pernah terjalin. Dan begitulah cerita ini ada.

Pada akhirnya, kedua orang ini merasa useless dengan pemikiran bunuh diri yang mereka lakukan namun dengan itu juga membuat mereka sadar bahwa cara itu salah. Bahkan pada adegan klimaks dimana kedua orang ini saling bertemu dan mengutarakan pemikirannya secara terbuka dimana sang MC mengatakan bahwa “aku ingin kamu membantuku untuk terus hidup” bukannya “aku ingin membantumu untuk hidup” (seperti di subteks film indonesia) kepada heroine kita ini.


8.    Belajar Membuka Dunia

 
Di dalam film ini terdapat salah satu teman Nishimiya yang sangat perhatian kepadanya untuk bersama-sama belajar bahasa isyarat, namanya Miyoko Sahara. Meski pada akhirnya dia ikut dibully oleh teman-teman yang lain (khususnya geng Ueno) melalui verbal karena turut bersamanya tapi dia tidak pernah berhenti belajar bahasa isyarat hingga pada suatu saat di masa SMA kedua orang ini bertemu kembali namun yang berbeda kali ini Sahara dapat berkomunikasi tanpa celah dengan Nishimiya.

Ps. Jose Carol dari JPCC pernah mengatakan bahwa belajar adalah cara untuk membuka dunia. Terkadang orang merasa terbatas dengan lingkungan saat ini atau merasa terlalu kecil dan sesak bukan karena dunia ini terlalu kecil namun justru karena kamu membatasi dirimu untuk tidak belajar hal yang baru dan stag dengan kemampuanmu sekarang.

Belajar (learning) tidak serta merta bicara tentang didikan (education) yang dipelajari secara formal di bangku sekolah namun juga berbicara tentang pengetahuan (knowledge). Didikan membutuhkan biaya namun untuk mendapatkan pengetahuan bisa saja didapatkan secara cuma-cuma. Hal yang terpenting disini adalah bagaimana kita bisa mengusahakan agar bisa saling mengerti (understanding).


9.    Kata Maaf Saja Tidak Cukup


Ada alasan mendasar mengapa pada akhirnya Ueno merasa sangat marah kepada Nishimiya di atas Bianglala. Secara singkat, Ueno merasa bahwa tindakan Nishimiya yang selalu meminta maaf terhadap setiap perbuatannya, baik salah maupun tidak salah, itu menjengkelkan. Meminta maaf itu memang baik dan diperlukan namun selalu minta maaf di setiap perbuatan meski itu bukan kesalahanmu itu patut dipertanyakan. Yang menjadi pertanyaan disini “sudahkah kamu mengerti kesalahanmu sehingga kamu perlu untuk meminta maaf?”

Seseorang memerlukan alasan yang jalas untuk bisa benar-benar meminta maaf. Ini bukan masalah seberapa cepat atau seberapa banyak kamu melakukan itu namun seberapa dalam kamu mengerti ucapan permintaan maafmu sehingga kamu bisa melakukan itu secara tulus. 

Itulah hal terberat untuk Nishimiya bisa mengerti dengan keterbatasan pendengaran yang digambarkan bahwa semua suara terdengar menggema tanpa kejelasan dan dia hanya mencoba bertindak normal yaitu terus memasang senyum palsu di setiap waktu.

bahkan Ishida bisa memaklumi itu (berdasarkan manga)


10.    Dua Wajah


Kembali kepada sosok Miki Kawai. Bertingkah polos dan selalu memastikan bahwa dirinya terlihat suci dan tanpa dosa membuat tokoh ini paling dibenci di film ini. dia adalah sosok gadis yang tidak akan segan-segan membuka aib orang lain demi keuntungan dirinya sendiri. Pada saat SMA, dia pada akhirnya kembali berteman dengan Ishida namun itu juga demi kepentingannya sendiri untuk bisa mendekati Mashiba Satoshi (sayang sekali perannya jadi tidak terlalu penting di film ini). sudut pandang ini juga berlaku bagi Ueno, senyuman dan permintaan maaf Nishimiya baginya adalah sebuah topeng kemunafikan sehingga dia membencinya.

Setiap orang di dunia ini selalu mementingkan sesuatu yang disebut citra diri. Itu baik, namun itu juga adalah topeng yang apabila kita terus memakainya maka sosok asli kita tidak akan terlihat dan selalu tertutupi. Ini terlihat jelas ketika Kawai mengajak teman-teman sekelasnya membuat seribu bangau kertas untuk kesembuhan Ishida dan tidak ada seorangpun yang mau melakukannya selain dirinya sendiri. Bagaimanapun juga antara orang baik dan orang yang terlihat baik akan ketahuan belangnya ketika menghadapi masalah yang sebenarnya.


11.    Feminize


Ada dua tokoh ibu hebat di film ini. Miyako Ishida dan Yaeko Nishimiya. Kedua sosok ini sangat berbeda sifat dalam mengurus anak-anaknya. Salah seorang murah senyum namun seorang lainnya sangat dingin dan keras kepala. Kesamaan kedua orang ini adalah mereka sama-sama single parent tanpa kehadiran sosok Suami atau Ayah di dalam keluarga.

Saya tidak mengatakan siapa yang lebih baik bahkan sebaliknya keduanya sama-sama memiliki kekurangan. Mereka tidak mengajarkan anak-anak mereka dengan cara yang benar. Ishida dibesarkan dalam lingkungan yang bebas namun Ibunya tidak terlalu berniat turut campur dalam kehidupan anaknya sehingga tanpa sadar dia besar menjadi seorang introvert. Sementara Nishimiya yang tuli dididik secara keras oleh ibunya yang sudah merasakan patah hati supaya dia menjadi wanita yang tangguh di dunia yang keras ini.

Sosok mama Ishida berperan besar dalam pembentukan karakter Ishida di masa remajanya. Terlihat sekali bahwa setelah insiden yang menghabiskan uang tabungan bank sebesar 1,7 juta yen itu kemudian dia berubah menjadi anak yang tidak mau bermasalah lagi bagi keluarganya. Namun sekali lagi, karena dia banyak terpengaruh dengan figur mamanya maka kemungkinan besar itulah yang membuatnya tidak terlalu manly, no homo lho yah.


12.    Perspektif
 
Hal terpenting dalam film ini adalah bagaimana cara kita memandang film ini. Bila kita memandang secara liberal maka kita akan melihat ini sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi dalam kehidupan nyata. Bila kita memandang dari sudut feminisme maka film ini tentang kekerasan terhadap perempuan dan orang berkebutuhan khusus. Bila kita memandang dari sudut psikologi mungkin kita akan mendapati bahwa hubungan interaksi ini bagus untuk dipelajari.

Terserah... mau dari sudut mana saja kalian melihat film ini namun yang pasti jangan sampai kamu kehilangan makna pesan filmnya.



Overall:
 +Pro:
-Film ini digambarkan mengikuti style gambar asli di manga.
-Meski kurang namun saya percaya penulisan cerita ini sudah sebaik-baiknya dengan sedikit mengubah alur cerita akhir demi original ending.
-Bromance. Crossdresser. Faithful Character.
-Dapat dijadikan bahan diskusi.

+Neg:
-Alur cerita terlalu padat dan singkat, terkadang putus-putus sehingga terkesan meninggalkan adegan yang tidak berguna.
-Ending yang senyap. Mungkin ini cuma berlaku di bioskop yang saya tonton dimana para penontonnya tidak memberikan tepuk tangan, tidak seperti halnya Kimi no Na wa. Ini juga di dukung dengan Sound yang redup secara berurutan.
-Kurang Bullying. Dibandingkan manga, film ini benar-benar terasa sangat “lembut”.
-Ishida-centris.

Kesimpulan:
Saya bersyukur sudah membaca manga-nya sampai habis jadi tidak terlalu kesulitan menikmati filmnya yang dirancang dengan alur maju-mundur. Bagaimanapun juga, film ini sangat bagus dan sangat terasa sekali suasana persahabatannya meski terlalu Ishida-centris, mungkin ini sesuai dengan keinginan mangakanya. Jangan berharap adegan Romace yang muluk-muluk, kalo Bromance sih memang manteb di film ini! hahaha....

Tidak perlu berdebat mana yang lebih baik antara Koe no Katachi dan Kimi no Na wa, posisi chart pada minggu pertama pemutaran film mereka sudah membuktikan segalanya, kok. lol.

Kemungkinan film ini dibuat seperti ini untuk mendorong penontonnya membaca manga-nya. Bagaimanapun juga saya menyarankan untuk membaca manga-nya sampai habis.



Permintaan Maaf:  Mohon maaf jika pada penulisan ini ada sesuatu kata yang kurang berkenan, seperti cacat, tuli, dsb. Bagaimanapun juga tulisan ini dibuat berdasarkan kemampuan saya bukannya berdasarkan cara penulisan baku ilmiah. Btw, Ueno still the best girls.


Film ini sudah ditonton 2 kali pada tanggal 08 & 14 Mei di Bioskop.

Komentar

Fasel mengatakan…
Wow reviewnya benar2 lengkap.. kerenn..